Kisah istri Lot yang berubah menjadi tiang garam adalah salah satu cerita paling menggugah dalam seluruh Kitab Suci. Satu tindakan “menoleh ke belakang” mengakhiri hidupnya dan mengabadikan namanya sebagai peringatan bagi seluruh generasi.
Sekilas, kisah ini tampak sederhana: seorang perempuan menoleh saat melarikan diri dari Sodom, lalu seketika menjadi tiang garam. Namun, apakah Tuhan menghukum hanya karena sebuah gerakan kepala? Masakah sekadar menoleh bisa membuat seseorang kehilangan keselamatan?
Kita perlu menyelami makna sebenarnya dari kata “menoleh” yang tercatat dalam Kejadian 19:26. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah נָבַט (nabat), yang berarti bukan sekadar melihat ke belakang secara fisik, tetapi memandang dengan penuh perhatian, dengan kerinduan, dengan hasrat yang masih melekat. Tindakan istri Lot bukan gerakan spontan karena penasaran terhadap ledakan kehancuran di belakangnya; itu adalah pandangan hati yang belum lepas dari Sodom.
Ketika malaikat Tuhan memerintahkan Lot dan keluarganya untuk “larilah, jangan menoleh ke belakang,” Tuhan sedang berbicara lebih dari sekadar arah pandangan mata. Ia sedang menuntut pemisahan total dari masa lalu yang berdosa. Menoleh ke belakang berarti menolak meninggalkan kehidupan lama, rumah, harta, kenangan, kesenangan, dan segala yang dulu dianggap berharga. Istri Lot bukan hanya menengok kota yang terbakar; ia menengok hatinya sendiri yang masih tertambat di sana.
Baca juga: Garam itu Menjadi Tawar: Penjelasan dan Pelajaran Penting
Bayangkan suasana malam itu. Api turun dari langit, Sodom terbakar, teriakan bergema di udara. Lot, istri, dan dua anak perempuannya berlari menuju Zoar dengan jantung berdebar. Namun di tengah pelarian itu, langkah istri Lot melambat. Pikirannya bergejolak: rumah indahnya, perabot yang mahal, teman-teman yang ditinggalkan, kehidupan nyaman yang kini lenyap. Di dalam dirinya, suara lembut berkata, “Hanya sebentar saja… aku ingin melihat untuk terakhir kali.” Dan dalam sekejap, ia menoleh.
Itu bukan sekadar gerakan leher. Itu adalah penyerahan kembali hati kepada dunia yang seharusnya ia tinggalkan. Saat tubuhnya berjalan ke depan, jiwanya justru kembali ke Sodom. Dalam pandangan itu terkandung kerinduan tersembunyi untuk apa yang telah Tuhan suruh tinggalkan. Ia memalingkan matanya ke belakang, tetapi sesungguhnya ia sedang membalikkan arah hatinya dari Tuhan.
Alkitab mencatat, “Istri Lot, yang berjalan mengikut dia, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.” (Kejadian 19:26). Garam melambangkan sesuatu yang tetap, tidak berubah, kaku. Dalam bentuk tiang garam, istri Lot menjadi lambang manusia yang membeku di antara dua dunia, tidak lagi di Sodom, tetapi juga tidak sepenuhnya menuju keselamatan. Ia berhenti di tengah perjalanan, beku antara masa lalu dan masa depan, karena hatinya tidak siap meninggalkan yang lama.
Baca juga: Tawaran Terakhir Abraham: Makna di Balik Sepuluh Orang Benar
Yesus sendiri mengingatkan, “Ingatlah akan isteri Lot!” (Lukas 17:32). Mengapa Yesus menegaskan hal ini kepada murid-murid-Nya? Karena Ia tahu, bahaya yang sama mengintai setiap orang percaya, bahaya menoleh dengan hati yang masih terikat.
Pertobatan sejati bukan hanya perubahan arah langkah, tetapi perubahan arah keinginan. Banyak orang meninggalkan dosa secara lahiriah, tetapi masih menyimpannya dalam hati. Mereka berhenti dari kebiasaan lama, namun diam-diam masih mengagumi masa lalu. Mereka berjalan menuju gereja, tetapi pikiran mereka masih memeluk dunia dengan erat. Itulah “menoleh ke belakang” dalam makna rohaninya.
Istri Lot melambangkan orang yang ingin diselamatkan tanpa meninggalkan kenikmatan lama. Ia ingin lepas dari hukuman Sodom, tetapi tidak ingin lepas dari kenangan manisnya. Dalam istilah modern, ia seperti orang Kristen yang ingin surga, tapi tetap memelihara dosa tersembunyi; ingin berkat, tapi tidak mau berubah total. Tuhan tidak bisa menyelamatkan seseorang yang masih menatap dunia dengan rindu.
Baca juga: Makna Tirai Bait Suci yang Terkoyak Saat Yesus Mati
Larangan Tuhan agar Lot dan keluarganya “jangan menoleh ke belakang” bukan perintah kaku, tetapi peringatan kasih. Tuhan tahu, hati manusia mudah terikat. Ia tahu betapa sulitnya melepaskan hal-hal yang pernah memberi kenyamanan. Tuhan memerintahkan mereka untuk terus maju agar mereka benar-benar terlepas dari gravitasi dosa.
Menoleh berarti memperlambat langkah, dan perlambatan itu bisa mematikan. Ketika seseorang masih menatap dosa dengan nostalgia, ia membuka celah bagi iblis untuk menariknya kembali. Tuhan menginginkan umat-Nya memandang ke depan, karena keselamatan hanya ada di arah yang ditunjukkan-Nya. Ia ingin agar mata iman kita menatap kepada tujuan surgawi, bukan kepada debu dunia yang sedang terbakar di belakang.
Hari ini, Kita hidup di zaman yang penuh tawaran kenikmatan. Dunia modern menghadirkan segala hal yang bisa membuat hati menoleh: kemewahan, ketenaran, kesenangan, popularitas, dan kenyamanan. Banyak orang yang sudah mengenal kebenaran, namun masih sering menoleh ke belakang, menatap kehidupan lama dengan rindu.
Ada yang sudah meninggalkan gaya hidup duniawi, tapi masih memelihara selera lamanya. Ada yang sudah berhenti berbuat dosa, tetapi masih memelihara “kenangan dosa” di hati. Pertobatan sejati menuntut pemutusan total dari hal-hal buruk yang mengikat hati.
Menoleh bukan tentang gerakan tubuh, melainkan arah kasih. Hati yang menoleh kepada dunia akan kehilangan pandangan akan Kristus. Sebaliknya, hati yang menatap Kristus tidak akan lagi tergoda untuk menoleh ke belakang. Rasul Paulus berkata, “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” (Filipi 3:13). Paulus tahu, untuk mencapai mahkota kehidupan, seseorang harus berhenti mengasihi masa lalunya.
Tuhan memanggil setiap orang percaya untuk berjalan maju tanpa menoleh. Mungkin di belakang ada hal-hal yang tampak lebih nyaman, relasi lama, harta, kebiasaan yang memberi kesenangan. Namun semua itu tidak sebanding dengan kemuliaan yang menanti di depan. Setiap langkah iman menuju kekekalan menuntut keberanian untuk tidak menengok ke belakang, walaupun dunia memanggil dengan suara lembutnya.
Baca juga: 60 Nubuatan Mesias di Perjanjian Lama Secara Harfiah Digenapi oleh Yesus dari Nazaret
Yesus berkata, “Kamu adalah garam dunia.” (Matius 5:13). Garam yang hidup memberi rasa, mencegah kebusukan, dan menjadi berkat bagi sekitar. Namun istri Lot menjadi tiang garam yang mati, tidak lagi berguna, tidak bisa bergerak, tidak bisa memberi rasa. Perbedaan antara garam yang hidup dan tiang garam adalah arah pandang hati. Garam yang hidup menatap ke depan bersama Tuhan; tiang garam berhenti karena menatap masa lalu.
Kita dipanggil untuk menjadi garam yang hidup. Dunia sedang membusuk karena dosa, dan Tuhan membutuhkan orang-orang yang berani melangkah maju, tidak lagi terikat pada Sodom modern: kesombongan, materialisme, dan hawa nafsu. Tuhan tidak menuntut kesempurnaan instan, tetapi Ia menuntut komitmen total untuk tidak menoleh.
Istri Lot kehilangan keselamatan bukan karena matanya, tetapi karena hatinya. Ia menoleh bukan karena rasa ingin tahu, tetapi karena masih menginginkan yang telah ditinggalkan. Kisahnya menjadi cermin bagi setiap orang percaya bahwa pertobatan sejati berarti berbalik tanpa rindu akan masa lalu.
Setiap kali kita tergoda untuk menoleh, mengasihi kembali dunia, memelihara dosa, atau menyesali jalan sempit yang kita pilih, ingatlah, satu pandangan ke belakang bisa menghentikan seluruh perjalanan iman. Tuhan memanggil kita untuk berjalan maju, menatap kepada Yesus, sumber keselamatan kita.
Jangan menoleh ke belakang. Karena keselamatan tidak berada di masa lalu, tetapi di depan, di tempat di mana Kristus menunggu dengan tangan terbuka.
Tidak ada komentar